Rabu, 22 Oktober 2014

Perjuangan Luh Ketut Suryani Berjuang Menyingkap Kegelapan yang Tersimpan di Pulau Dewata Bali

Oleh: 

Kita semua pasti tahu tentang Bali. Pulau yang begitu indah, dimana kita bisa menikmati berbagai macam tempat wisata yang merefreshkan hati dan pikiran kita. Namun tahukah Anda, bahwa ternyata di Bali banyak penderita gangguan jiwa berat yang dikucilkan dan tidak dihiraukan?
Menurut Prof Dr dr Luh Ketut Suryani, SpKJ, mereka dibiarkan tanpa penanganan bukan karena ketidakpedulian keluarga mereka tetapi justru sebaliknya, keluarga mereka telah melakukan semua yang mereka bisa untuk menyembuhkan keluarga mereka yang sakit sehingga mereka sudah tidak mempunyai biaya lagi.
Berdasarkan survei Suryani Institute for Mental Health (SIMH) tahun 2008 di Kabupaten Karangasem, Kabupaten Buleleng, dan Kecamatan Denpasar Timur, diperkirakan 7.000 orang di Bali mengalami gangguan jiwa berat, 300-an dipasung. Jumlah itu menjadi 9.000 pada tahun 2010, atau 2,3 per 1.000 penduduk. Memang lebih rendah daripada rata-rata nasional. Namun, ada 350 orang yang menderita gangguan jiwa berat yang dipasung di Bali.
Kenyataan itu banyak disangkal oleh berbagai pihak walaupun sudah ada bukti yang memperlihatkannya, seperti pada pameran foto internasional yang beberapa waktu lalu di pamerkan di Bali.
Awalnya, Suryani meneliti kasus bunuh diri di Bali dan ia menemukan bahwa kasus bunuh diri terbanyak disebabkan oleh gangguan jiwa berat.
Menurutnya, hospital based seharusnya sudah ditinggalkan dan memberlakukan community based treatment karena lebih efektif, bisa mendidik masyarakat, pasien, dan keluarga untuk mengenali tanda dini akan kumat. Pemberian obat juga hanya digunakan pada pasien yang betul-betul butuh.
Suryani membutuhkan perjuangan keras untuk mendapatkan perhatian pemerintah, pemerintah hanya sebatas terkejut dan tidak melakukan apa-apa karena pemerintah mendiskriminasi penyakit gangguan jiwa dibandingkan dengan penyakit fisik.
Untunglah pada tahun 2009 Gubernur Bali Mangku Pastika memberikan dana 1 miliar, sehingga Suryani bisa menangani banyak pasien gangguan jiwa. Namun sayangnya, hal itu tidak bertahan lama karena banyaknya protes yang mengatakan bahwa dana tersebut terlalu banyak untuk mengobati pasien bergangguan mental yang hanya nyanyi-nyanyi dan meditasi. Dana tersebut dipotong sampai 90% sehingga dalam 6 bulan kemudian banyak pasien yang kambuh dan Suryani tidak bisa mengobati banyak pasien lagi.
Namun, ia tidak menyerah dan tetap melanjutkan pengobatan gratisnya dengan menggunakan subsidi silang dan bantuan kolega dari luar negeri.
Dari 684 pasien yang ditangani, 37 persen sembuh tanpa obat, 62 persen membaik, tetapi masih perlu obat, dan 1 persen tak ada perubahan. Antara tahun 2012 sampai Agustus 2013 tersisa 346 pasien. Hasil evaluasinya, 58 persen sembuh tanpa obat dan 32 persen sembuh dan membaik dengan obat.
Suryani sendiri dikenal sebagai sosok yang kontroversional karena  melawan apa pun karena punya pijakan kuat yang didasari penelitian panjang. Metodenya tentang biopsikospirit-sosio budaya dan hipnosis yang dulunya dicibir sekarang terbukti secara ilmiah. Ia juga menolak melakukan praktik di dalam ruangan.
Suryani mengambil spesialisasi kedokteran jiwa karena ingin mempelajari dirinya sendiri dan mengajarkan memori reframing kepada orang lain. Ia sangat bersyukur karena ibunya dulu mendidiknya dengan disiplin.
Ia memilih teori memori karena memberi harapan. Diyakini, gangguan kejiwaan bisa dicegah kalau janin berada dalam rahim ibu yang sehat dan bahagia, ditambah pola asuh 10 tahun pertama. Oleh karena itu, anak-anak harus diberi kasih sayang, punya rasa aman, dihargai, dan memperoleh cerita sebelum tidur. Kurikulum pendidikan kita juga harus diubah agar anak-anak memiliki pemikiran yang lebih merdeka. Ia menolak bahwa gangguan jiwa adalah kutukan.

Menurut saya, sosok Suryani ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat, dimana dia melakukan sesuatu dengan ikhlas, tanpa pamrih dan pantang menyerah untuk orang lain yang membutuhkan. Apa yang ia lakukan bukan hanya berdasarkan penelitiannya tetapi kemauannya untuk membantu orang lain. Apalagi orang yang ditolongnya adalah orang-orang gangguan jiwa yang memang harus membutuhkan perhatian, bukan malah dihiraukan atau dijauhi. Seberapa banyak orang yang mau berurusan dengan orang yang mempunyai gangguan jiwa? Dimana "gangguan jiwa" masuk dalam konotasi negatif.

♦ Lahir: Singaraja, Bali, 22 Agustus 1944
♦ Suami: Prof Dr dr Tjokorda Alit Kamar Adnyana, SpFK
♦ Anak: 6 dan 16 cucu
♦ Pencapaian: Pernah memegang berbagai jabatan, menjadi anggota organisasi dokter dan ahli jiwa  dalam dan  luar negeri. Ia mendapatkan lebih dari 10 penghargaan, termasuk  untuk membebaskan dan mengobati pasien gangguan jiwa yang dipasung. 
♦ Karya buku: Lebih dari 20 buku dan puluhan tulisan dalam antologi dan jurnal internasional tentang keterkaitan spiritualitas, kebudayaan, agama, kesehatan mental, pola asuh dan perubahan sosial. Ia memberi bimbingan meditasi dan relaksasi gratis untuk masyarakat.
Gambar.1. http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009652737
 


Sumber: print.kompas.com, Kamis, 23 Oktober 2014
Gambar.1.http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009652737


Tidak ada komentar:

Posting Komentar