Sabtu, 29 November 2014

Hidup Seribu Tahun dengan Sejarah

Kompas, Sabtu, 29 Desember 2014

Oleh:


Binton Nadapdap (44) adalah salah satunya, ia ingin mengukir namanya hingga seribu tahun. Dan ia ingin meninggalkan koleksi berharganya ini bukan hanya untuk anak cucunya tetapi juga untuk generasi bangsa Indonesia.
Benda bersejarah mewujud dalam buku, komik, manuskrip, lukisan, foto dan klise, uang kuno, hingga prangko edisi khusus. Semua benda itu penting untuk menjaga ingatan sejarah Indonesia.
Tidak mudah bagi Binton untuk merawat semua koleksi benda-benda sejarahnya itu. Ia sempat bertanya kepada dirinya sendiri untuk apa dan siapa koleksinya itu. Ia juga berpikir seharusnya pemerintah membantu merawat benda-benda bersejarah itu. Namun, ia sudah tidak mempermasalahkannya lagi karena itu sudah menjadi kesenangannya dan ia sangat menyukai sejarah.
Melalui proses pengoleksian ini, Binton kemudian mempunyai banyak kenalan, mulai dari orang-orang yang menawarkan benda-benda bersejarah, sesama kolektor hingga orang-orang yang membutuhkan koleksi yang dimilikinya untuk tugas belajar, penelitian, ataupun bahan tulisan.
Dari salah satu koleksi foto klise yang dimilikinya, Binton bisa berkenalan dengan almarhum Taufik Kiemas. Pasalnya, Binton punya foto negatif atau klise perkawinan Taufik dengan Megawati Soekarnoputri.
Binton juga memiliki foto-foto demonstrasi mahasiswa menentang korupsi sejak dulu. Menurutnya, ini adalah bukti korupsi dari dulu sampe sekarang masih menjadi persoalan yang serius.
Binton juga tidak keberatan menyumbangkan hasil koleksi klise bersejarahnya kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Ia menyumbangkan klise foto soal Konferensi Pers Departemen Luar Negeri Republik Rakyat Tiongkok pada 2 Oktober 1967, Demonstrasi KAPPI/KAPI di DPR-GR soal pembelian mobil Holden pada 21 Oktober 1967, Hotel Indonesia, Monumen Nasional, dan Sarinah tahun 1967.
Ia juga tidak keberatan menyumbangkan koleksi lukisan Basoeki Abdullah yang terdapat tanda tangan Basoeki Abdullah untuk melengkapi koleksi Museum Basoeki Abdullah.
Binton mempunyai keinginan untuk membuat sebuah buku sejarah menarik dari banyaknya koleksi klise dan foto sejarah yang dimilikinya.
Ia ingin membuat sebuah buku tentang Bung Karno dan Soeharto dari koleksi klise foto yang dimilikinya. Binton yakin fotonya otentik karena belum tentu ada yang punya, apalagi ia memiliki klisenya. Rencananya, ia ingin membuat 300 lembar, namun ia masih menunggu adanya sponser karena biayanya besar.
Merawat koleksi klise dan foto bersejarah tentu tidak mudah, apalagi koleksi klise Binton juga sudah unik, menunjukkan perjalanan perubahan fotografi, dari klise berukuran besar hingga kecil.
Meletakkan koleksinya dalam brankas tahan api dan menyebarkan koleksinya di tiga lokasi rumahnya yang berbeda dirasa tidak cukup. Binton secara bertahap mendigitalisasi foto dan klise itu. Dan untuk itu, ia harus turun tangan sendiri karena takut ada petugas yang "nakal" yang memindahkan atau mengambil koleksinya itu.
Istrinya sampai kaget mengetahui berapa besar uang yang dihabiskan oleh Binton. Namun, untungnya istri dan anak-anaknya sekarang mendukung dan ikut dilibatkan. Perburuan benda-benda sejarah juga kadang sekalian untuk liburan keluarga.
Menurut Binton, kolektor foto bersejarah per orangan tidak banyak. Namun, dia merasa sayang jika foto bersejarah itu musnah. Apalagi, negara belum memperhatikan sepenuhnya soal sejarah.
Ia merasa bangga memberikan koleksinya pada ANRI dan merasa senang hanya karena mendapatkan selembar kertas terima kasih karena itu sudah merupakan pengakuan.
Sebenarnya, awal mula Binton hingga menjadi pengoleksi adalah sangat sederhana. Ia mendapatkan hadiah sebuah lukisan kapal dari nasabah tempat ia bekerja. Binton kemudian penasaran akan asal-usul kapal tesebut, hingga ia pergi ke Pasar Senen untuk mencari-cari buku tentang kapal itu. Ia mendapatkan banyak buku dan komik lama, dan pada buku tersebut terselip foto bersejarah. Sejak itulah ia tertarik dan asik mencari foto-foto bersejarah.
Binton meyakini, untuk menjadi kolektor tidak mesti harus kaya dulu seperti dirinya yang hanya pegawai. Dia mencoba berjualan lukisan, yang uangnya dipakai untuk memburu koleksi-koleksi benda bersejarah.
Kini, dia tidak melepas koleksinya. Sebab, dia punya target untuk mewariskan semua koleksinya ini kepada anak cucu dan bangsa ini dalam suatu museum yang tertulis namanya. Dengan demikian, dia bisa hidup seribu tahun.
Gambar.1.Binton Nadapdap bersama koleksi foto bersejarahnya


Bapak Binton ini benar-benar kolektor sejati, apalagi barang-barang koleksinya adalah benda-benda bersejarah yang memang harus kita rawat dan jaga. Ia adalah sosok inspiratif yang kadang kita tidak sadari kehadirannya. Seharusnya kita lebih peduli lagi tentang benda-benda bersejarah yang ada di sekitar kita, bukan berarti kita harus menjadi kolektor, tetapi menghargai dan tidak merusak benda-benda sejarah sudah merupakan langkah awal yang baik dalam menjaga benda-benda sejarah yang ada.
 
Binton Nadapdap
♦ Lahir: Pematang Siantar, 5 Oktober 1970
♦ Pendidikan:
- SD-SMA di Pematang Siantar
- S-1 STIA YAPPAN Jakarta, Jurusan Administrasi Niaga, 1996
- S-2 STIE IPWI Jakarta, Jurusan Sumber Daya Manusia 2000
♦ Karier:  
- 1988-1990  mengajar akuntansi dan hitung dagang di Talona Kursus dan Institut Modern Gandhi Kotamadya P Siantar (sekolah SMA sambil bekerja).
- 1990-sekarang   bekerja di Bank Rakyat Indonesia
♦ Penghargaan:
- Rekor spektakuler piagam penghargaan sebagai pelopor kolektor buku termuda dan terbanyak di Indonesia dari Yayasan Profesi Indonesia, diserahkan oleh Letjen Sutiyoso (2010)
- Piagam penghargaan sebagai Citra Insan Pembangunan Indonesia (2010)
♦ Kegiatan organisasi dan komunitas:
- Pendiri/pemilik: www.kolektor.indonesia.com, komunitas para kolektor barang seni, buku, prangko, foto bersejarah, komik, uang kuno, lukisan
- Pendiri/pemilik:www.rumahinovasi.com, komunitas inovasi, wadah inovator muda
- Kegiatan menyumbangkan buku ke sekolah-sekolah, komunitas, dan yayasan sebanyak 95 kali
- Kegiatan menyumbang foto-foto bersejarah ke ANRI

Sumber: www.print.kompas.com
Gambar.1.http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010246425



Jumat, 28 November 2014

Dynand Fariz Menggali Tambang Kreativitas dari Jember

Kompas, Jumat, 28 November 2014

Oleh:


Dynand Fariz (51) adalah seorang designer yang meraih Best National Costume Miss International 2014 di Tokyo, 11 November atas designnya uaitu Pakaian adat Lampung bertema ”Tale of Siger Crown”.  
Ini baru langkah awal Fariz meraih mimpi Indonesia menjadi pemimpin dunia melalui kreativitas seni. 
Mata Fariz berkaca-kaca saat mendampingi Puteri Indonesia Lingkungan 2014 Elfin Pertiwi yang mengenakan rancangannya kembali dari Tokyo. Padahal, ini bukan kali pertama Fariz meraih prestasi di ajang internasional. Karyanya kerap menang di kontes pemilihan pria tingkat internasional.
Kostum Elfin berwarna emas itu terdiri dari siger (mahkota) dan tapis Lampung. Siger adalah mahkota khas Lampung yang dikenakan pengantin perempuan. Tapis warna merah memperindah penampilan.
”Saat saya mendengar kita meraih kostum nasional terbaik, saya langsung teriak. Prestasi ini memang harus milik kita. Saya ingin Indonesia ditakuti karena kostum nasionalnya,” ungkap Fariz.
Saat ini, Puteri Indonesia Pariwisata 2014 Estelita Liana yang akan berlaga di ajang Miss Supranational 5 Desember di Warsawa, Polandia, juga mengenakan karya Fariz. Untuk Estelita, Fariz mengkreasikan keragaman budaya dan kekayaan alam Kalimantan. Tema ”Warrior Princess of Borneo” mengangkat eksotisme burung enggang. Di tangan Fariz, busana nasional itu terlihat megah dan anggun layaknya kostum karnaval.
Hal ini diraih bukan dengan begitu saja namun dengan penuh perjuangan.  Nama pengajar Sekolah Mode ESMOD Jakarta ini dikenal luas karena Jember Fashion Carnaval (JFC) ciptaannya.
Ia lulus dari Jurusan Seni Rupa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Surabaya dan menjadi pengajar disana. Beberapa tahun kemudian, ia memutuskan untuk menjadi seorang designer dan mendapatkan beasiswa di Sekolah Mode ESMOD, Jakarta. Sebagai desainer, dia mendirikan Dynand Fariz Center yang membuat pergelaran busana setiap tahun.
Meski telah menjadi designer di Jakarta, Dynand tetap mengingat tempat asalnya yaitu Jember.
Ia beserta keluarganya kemudian membuat suatu pergelaran karnival berkeliling ke rumah saudara-saudaranya dengan menggunakan pakaian tematik.
Dari sinilah muncul ide untuk membuat JFC yang dilaksanakan sampai dua kali setahun karena tingginya animo dari masyarakat.
Pada Agustus 2003, JFC 2 diselenggarakan dengan mengambil tema Arab, Maroko, India, Tiongkok, dan Jepang. Untuk tahun-tahun berikutnya, JFC rutin digelar pada Agustus.
Sayangnya, JFC tidak selalu berjalan mulus. Acara menarik yang dikemas seperti kemeriahan karnaval di Rio de Janeiro, Brasil ditentang oleh DPRD kota Jember dan diminta untuk menghentikannya karena dianggap mau merusak generasi muda, padahal persiapan sudah dilakukan.
Dynand lalu mendatangi DPRD dan bertanya apakah mereka tahu karnaval itu seperti apa, dan tidak ada seorang pun anggota DPRD yang mengiayakan. Dyland kemudian mengundang seluruh anggota DPRD tersebut untuk datang ke acara karnavalnya dan melihat sendiri bagian mana yang merusak generasi muda.
Kini, setelah 11 tahun berlalu JFC bukan hanya terkenal di Indonesia, namun juga sampai di luar negeri.
JFC setiap tahun melibatkan 700 orang, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Mereka yang ingin berpartisipasi bisa mendaftar sebagai talent yang akan dilatih membuat konsep, merancang busana, merias diri, sampai berjalan di catwalk sepanjang 3,7 kilometer.
Menurut Dynand, Indonesia bisa menjadi tambang, bukan tambang emas atau batu bara melainkan tambang kreativitas.
Mulai dari JFC ini melahirkan karnaval-karnaval lain di daerah lain seperti Solo Batik Carnival yang pada waktu itu Dynand khusus di panggil oleh Gubernur kota Solo Joko Widodo.
Sejak empat tahun lalu, Fariz mengusung kemeriahan karnaval khas Jember ini ke Jakarta. Akhir pekan ini, 29-30 November, masyarakat Jabodetabek bisa menyaksikan JFC di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Dalam sehari, pertunjukan dalam ruangan ini akan digelar dua kali, pukul 14.00 dan 19.00. Sebelumnya, penonton bahkan bisa mengobrol dengan para talent.
Tahun depan, keinginan Fariz memeluk dunia lebih lama diwujudkan dengan JFC ke-14 yang terbagi tiga bagian, karnaval, pameran, dan konferensi internasional. JFC akan mengundang peserta dari seluruh dunia untuk berkarnaval.

JFC ini benar-benar merupakan karya anak bangsa Indonesia yang harus ditiru dan dilestarikan. Karena Indonesia memang sudah mempunyai beragam kreativitas unik dan menarik yang tidak kalah dari negara-negara lain. Tinggal kita sebagai generasi muda sekarang ini, mau mengembangkannya bukan hanya di Indonesia tetapi juga sampai luar negeri.
Seperti kata Dynand Fairuz, "Kita bisa jadi kota tambang, bukan emas atau batubara, tetapi tambang kreativitas."

Gambar.1.http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010363783

Dynand Fariz 
♦ Lahir: Jember, 23 Mei 1963
♦ Pendidikan:
- 1979-1984: Seni Rupa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Surabaya
- 1996-1999: Beasiswa  Program Combination di Sekolah Mode ESMOD, Jakarta
- 1999: Training Teacher di ESMOD Perancis
♦ Karier:
- 1985-sekarang: Dosen Program Tata Busana di Unesa, Surabaya
- 1999-sekarang: Pengajar  Pattern Drafting  ESMOD Jakarta 
- 2000-sekarang: Pendiri dan Presiden Jakarta Fashion Carnaval  
- 2006-sekarang: Anggota Indonesian Social Entrepreneur, Ashoka, Washington DC
♦ Prestasi:
- 1999: Best Costume & Unique Costume ESMOD St Chaterina Day
- 2007: Performing Art di Indonesian Reception Day, Mumbay, India
- 2008: Penghargaan Putra Terbaik Jember 
- 2011: Rancangan Dynand Fariz  meraih Best National Costume di Mr Universe Republik Dominika
- 2014: Rancangan Dynand Fariz meraih Best National Costume Miss International 2014 di Tokyo Jepang

Sumber: www.print.kompas.com
Gambar.1.http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010363783

Kamis, 27 November 2014

Dadan Erawan dan Ginanjar MS Menjemput Semangat dan Bakat Mereka

Kompas, Kamis, 19 November 2014

oleh: Cornelius Helmy


Dadan Erawan (33) dan Gianjar MS (22) adalah dua orang guru yang menjemput atau mendatangi anak-anak yang putus sekolah di sekitar perbatasan Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat untuk kembali bersekolah lagi.

Gambar.1.http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010001984

Salah satu anak yang putus sekolah adalah Rohayati, ia terpaksa harus putus sekolah karena orantuanya, Endang (38) tidak mampu untuk membiayai sekolah Rohayati. Namun, berkat Dadan dan Gianjar yang datang ke rumah Rohayati dan berbicara kepada Endang bahwa Rohayati bisa bersekolah tanpa membayar uang gedung dan hanya membayar secara sukarela uang sekolah, sehingga Rohayati bisa kembali bersekolah di SMK Widya Mukti yaitu sekolah dimana Dadan dan Gianjar menjadi guru.
Rohayati kini duduk di kelas 2 SMK Widya Mukti bersama 84 murid lainnya. Sekitar 80 persen siswa SMK ini adalah anak-anak yang diajak untuk sekolah lagi. 
Sejak tiga tahun lalu, SMK Widya Mukti ini sudah seperti rumah bagi anak-anak kurang beruntung itu. Mereka dapat bersekolah tanpa memusingkan biaya seperti sekolah-sekolah lain. SMK Widya Mukti ini memang berada di bawah Yayasan Setia Bhakti bersama tiga sekolah lainnya. Biaya operasional sekolah-sekolah ini berasal dari pendapatan pengelolaan pasar tradisional Genteng di Garut dan toko alat-alat bangunan di Bandung yang disisihkan.
Menurut Dadan, kebiasaan menjemput siswa ini sudah berlangsung sejak 3 tahun lalu SMK Widya Mukti didirikan. Fokusnya pada anak-anak yang terkendala faktor geografis dan tidak adanya biaya untuk melanjutkan sekolah.
Dadan biasa melakukannya seusai pelajaran telah berakhir. Ia menyusuri jalan rusak sekitar Garut-Tasikmalaya dengan berjalan kaki. Panas dan hujan deras bukan halangan. Baginya keinginan siswa untuk bersekolah lagi merupakan imbalan yang setimpal.
Penolakan pernah ada, orangtua yang mengubah pandangannya juga ada. Banyak orangtua yang merasa anaknya cukup sampai jenjang SMP saja, namun sekarang banyak yang menginginkan anaknya sekolah setinggi-tingginya.
Enung (41), warga Sukaikhlas, Desa Sukatani, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, adalah salah seorang di antaranya. Saat Dadan kerumahnya, Enung sedikit lebih tenang saat tahu biaya sekolah tidak memerlukan biaya yang tinggi, dan saat tahu SMK Widya Mukti mempunyai program kewirausahaan, Enung semakin mantap menyekolahkan anaknya. Apalagi dari hasil praktek kewirausahaan tersebut ada pendapatan yang diperoleh dari hasil menjual, walaupun hanya cukup untuk ongkos di jalan, namun itu sudah lebih baik. Rumah Enung bahkan kini menjadi salah satu tempat praktek program kewirausahaan tersebut.
Ginanjar MS (22), guru SMK Widya Mukti lainnya, yang bertanggung jawab mendampingi program kewirausahaan tersebut. Ia mengatakan, program itu kini diikuti 16 siswa yang dibagi dalam dua kelompok. Dengan modal Rp 100.000 per kelompok, mereka memasak dan menjual penganan ringan dari tepung kanji.
Awalnya ada keluhan dari siswa karena berat di ongkos perjalanan.
Gianjar mengatakan wirausaha tidak sesederhana itu dan ia mendorong anak didiknya agar menjadi mandiri. Walaupun hanya sampai lulusan SMK, ia berharap anak didiknya memiliki keterampilan. Proses transfer ilmu ini juga dibumbui canda tawa sehingga ikatan mereka sebagai guru dan murid menjadi lebih dekat.
Akan tetapi, tidak semuanya berjalan mulus. Banyak tantangan yang harus dihadapi. Ginanjar mencontohkan angkatan pertama yang jumlahnya menyusut. Pertama kali datang, angkatan pertama itu sebanyak 13 orang. Jumlahnya bertambah menjadi 20 orang. Namun, kemudian menyusut menjadi 15 orang saat menginjak tahun ketiga. Kendala ekonomi membuat siswa hengkang untuk menikah atau bekerja sebelum lulus. Berbeda dengan angkatan kedua yang hingga tahun ini tetap berjumlah 25 orang. Angkatan ketiga mencapai 45 siswa.
Kemudian para guru dibuat bangga atas usaha Aas Trisnawati (16) yang menyabet juara III di ajang Semarak Inovasi Pengembangan Pertanian Indonesia 2013 di Bogor. Karya tulis berjudul ”Analisis Jumlah Petani di Tasikmalaya” memikat juri. Sebelumnya, Aas putus sekolah dan sempat bekerja selepas.
Murid-murid lain yang diajak kembali sekolah pun membuktikan kemampuannya. Seperti Rohayati kini tidak pernah jauh dari tiga terbaik di kelas. Ia bahkan berani bermimpi lebih
tinggi, yaitu ingin menjadi dokter.

Bakat-bakat dan kemampuan anak-anak muda di Indonesia ini sangat banyak, namun dibatasi oleh biaya dan fasilitas saja. Oleh karena itu alangkah baiknya pemerintah benar-benar memperhatikan pendidikan yang ada di Indonesia ini jika ingin Indonesia maju. Sekolah-sekolah dan guru-guru seperti di SMK Widya Mukti ini harus diperbanyak dan diperhatikan dengan baik.


Dadan Erawan 
♦ Lahir: Garut, 20 Maret 1981
♦ Pendidikan:
- SD Pasanggarahan I Garut (Lulus 1993)
- SMPN Cilawu Garut (Lulus 1996)
- SMAN I Cilawu Garut (1999)
- S-1 Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris di STKIP Garut (Lulus 2004)
- S-2 Jurusan Manajemen Sistem Pendidikan di Universitas Galuh, Ciamis (Lulus 2008)
Ginanjar MS 
♦ Lahir: Garut, 10 April 1992
♦ Pendidikan: 
- SD Sabang Bandung (Lulus 2004)
- SMPN 27 Bandung (Lulus 2007)
- SMAN 1 Garut (Lulus 2010) 
- S-1 Pendidikan Bahasa Daerah Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung (Lulus 2014)

Sumber: www.print.kompas.com
Gambar.1. http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010001984

Kamis, 06 November 2014

Kepala Sekolah yang Gemar ”Nongkrong”

Kompas, Kamis, 6 November 2014
Oleh:

Endang Setyowati, Kepala SMAK 1 BPK Penabur, Jakarta Barat. Beliau adalah kepala sekolah yang berjalan, turun, dan membaur bersama sesama rekan guru serta murid. 
Karena sikapnya itu, ia  menjadi juara pertama Lomba Kepala Sekolah SMA Berprestasi Nasional pada Agustus 2014. 
Menurutnya, Kepala sekolah tidak boleh hanya duduk di kantor dan menunggu laporan kerja, namun harus keluar dan mau mendengarkan curhat, baik dari siswa, guru, sampai pegawai kebersihan.
Karena itu, ia jarang berada di ruangannya dan lebih sering berada di ruang guru, selasar atau bersama muridnya di anak tangga.
Gambar.1.http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009312247
Ia sering mendekati dan mengobrol bersama guru-guru muda, karena menurutnya guru-guru muda memiliki banyak ide-ide kreatif mengenai metode pengajaran, namun kadang tidak disampaikan karena enggan disampaikan di forum formal. 
Berkat itu, metode pengajaran di SMAK Penabur menjadi lebih baik. Guru menjadi lebih kreatif dan komunikatif dengan para murid yang menciptakan suasana yang aktif.
Menurutnya, murid-murid butuh di dengar dan diberi perhatian agar menjadi nyaman dalam bersekolah, apalagi seiring brtambahnya zaman, semakin sulit untuk menididik anak-anak.
SMAK 1 BPK Penabur memang dikenal sebagai sekolah yang kerap kali menjuarai berbagai lomba ilmiah. Namun, menurut Endang, ketersediaan sarana dan prasarana di rumah dan di sekolah membuat para murid yang cerdas sekalipun menjadi manja, konsumtif, suka menggampangkan masalah, dan cenderung amat bergantung kepada orangtua. Oleh karena itu, guru harus berperan dalam perkembangan anak-anak didiknya dengan berusaha mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Endang mengatakan bahwa guru yang profesional adalah guru yang tidak langsung pulang ketika jam kerja telah berakhir.
Ia juga mengatakan bahwa murid lebih menyukai berdiskusi secara terbuka dan santai. Dalam kesempatan inilah, guru bisa menyelipkan pesan-pesan moral kepada murid.
Awalnya, Endang tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang guru. Cita-citanya adalah ingin menjadi seorang dokter, bahkan ia sudah diterima di Universitas Airlangga, Surabaya. Namun, karena kondisi ekonomi keluarganya yang tidak memadai, ia terpaksa harus melupakan impiannya itu. 
Sebagai pelipur lara, salah seorang kakaknya mendaftarkan Endang kuliah pada Jurusan Pendidikan Kimia Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta). Ia sempat ogah-ogahan mengikuti kuliahnya itu karena masih merasa marah dengan keluarganya yang menurutnya menggagalkan impiannya. Namun, ketika telah memulai praktik di sekolah-sekolah, ia melihat banyak anak yang kondisi ekonominya lebih buruk dari kondisi ekonomi keluarganya. Karena itu amarahnya terhadap keluarganya mulai luluh dan ia semangat menjadi guru dan telah mlupakan cita-cita awalnya sebagai dokter. 
Setelah lulus kuliah, Endang melamar sebagai guru SMA di Yayasan BPK Penabur. Karena konsistensinya dalam mengajar  ia kemudian diangkat menjadi kepala laboratorium dan dalam beberapa tahun, ia kemudian menjadi wakil sekolah bidang kurikulum, dan pada 2000, ia dipercaya menjadi Kepala SMAK 7 Penabur yang baru dibangun di Kalimalang, Jakarta Timur.
Tantangan untuk memasarkan sekolah yang baru dibuka butuh perjuangan, karena disekitarnya terdapat banyak sekolah negeri yang bermutu dan murah. Ia kemudian memiliki ide untuk memusatkan pelajaran teknik informatika, yang saat itu masih sangat jarang.
Untuk itu, Endang membangun laboratorium komputer dan membuat program lokakarya yang mengundang murid-murid SMP agar datang mencoba laboratorium tersebut. Hasilnya, murid yang memiliki minat di bidang komputer dan informatika pun beramai-ramai masuk bersekolah di SMAK 7.
Setelah mengembangkan SMAK 7, Endang dipercaya memimpin SMAK Penabur Gading Serpong di Tangerang. Di bawah kepemimpinan Endang-lah program Brilliant Class dibuka bekerja sama dengan fisikawan yang mengantarkan banyak anak Indonesia menjuarai kompetisi tingkat dunia, yaitu Yohanes Surya. Program ini dirancang untuk merekrut murid-murid SMP cerdas dalambidang Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam(MIPA) untuk dilatih dan dikembangkan untuk mengikuti lomba-lomba bertaraf nasional sampai internasional.
Pencarian ini tidak mudah, Endang harus mengunjungi beberapa SMP yang ada di Indonesia yang berlangsung selama berminggu-minggu. Berkat usahanya itu, pada tahun ajaran 2008/2009, angkatan pertama Brilliant Class pun terwujud.
Upaya menemukan anak-anak cerdas ini menyadarkan Endang tentang keseimbangan. Memiliki kecerdasan saja tidak cukup, tetapi butuh dampingan untuk pengembangan karakter karena kecerdasan tanpa karakter hanya membawa petaka bukannya bermanfaat. Ini yang menjadi kesadaran Endang saat mendampingi murid-muridnya dan nongkrong bersama.

Ibu Endang ini benar-benar seorang yang berjiwa guru sejati. Terbukti dari tindakan-tindakannya yang sangat menginspirasi. Seharusnya kepala sekolah lain mencontoh tindakan Ibu Endang ini, bukan hanya duduk di dalam ruangannya atau hanya di ruangan rapat tetapi turun langsung untuk melihat dan membantu proses belajar mengajar. 
Endang Setyowati
♦ Lahir: Bojonegoro, Jawa Timur, 19 September 1957
♦ Suami:  Agustinus Titi
♦ Pendidikan: 
- Pendidikan Teknik Kimia IKIP Jakarta, 1979-1982
- Magister Manajemen Persekolahan Universitas Kristen Krida Wacana, 2004-2007
♦ Pekerjaan: 
- Kepala SMAK 1 BPK Penabur, 2012-kini
- Kepala SMAK BPK Penabur Kelapa Gading, Jakarta, 2009-2012
- Kepala SMAK BPK Penabur Gading Serpong, Tangerang Selatan, 2007-2009
- Kepala SMAK 7 BPK Penabur, Kalimalang, Jakarta Timur, 2000-2007
♦ Penghargaan:
- Juara Pertama Lomba Kepala Sekolah SMA Berprestasi Nasional, Agustus 2014
- Kepala Sekolah BPK Penabur Terbaik, 2005
Sumber: print.kompas.com
Gambar.1. http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009312247